Mbah Dayadi, Pembuat Mushola di Coban Talun |
Jawabannya adalah; HARUS BISA! Karena nyatanya, pria kelahiran tahun 1929 itu pun bisa mendirikan mushola seorang diri, di tempat yang akses jalannya sulit.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pertemuan kami bermula atas ketidak-sengajaan dan keisengan salah satu sahabat saya, Arni, yang mencoba sok kenal dan sok dekat dengan beliau. Setelah asik foto-foto dengan berbagai macam angle dan gaya, di berbagai spot yang instagramable, kami pun istirahat sejenak. Si Arni, entah ada angin apa, tiba-tiba langsung menghampiri si mbah yang sedang asik bekerja.
Si mbah, tidak merasa terganggu dengan kedatagan Arni. Malahan, dia meletakkan golok yang digunakan untuk memotong batang pohon tumbang, duduk di atas batang pohon tersebut dan meladeni pertanyaan Arni. Dari kejauhan saya melihat mereka asik sekali, bahkan tak jarang si mbah tertawa.
Si mbah, tidak merasa terganggu dengan kedatagan Arni. Malahan, dia meletakkan golok yang digunakan untuk memotong batang pohon tumbang, duduk di atas batang pohon tersebut dan meladeni pertanyaan Arni. Dari kejauhan saya melihat mereka asik sekali, bahkan tak jarang si mbah tertawa.
"Mbah nya keren lho, bikin mushola di sini sendirian." kata Arni ketika kembali kepada kami. "Ha sumpah? sendirian?" tanyaku menggebu-gebu.
"Iya, tapi aku nggak ngerti selanjutnya dia ngomong apa, soalnya campur bahasa Jawa aku iya-iya aja." ungkap anak Kalimantan ini dengan polos hahaha 😂
Mbah Dayadi, saat berbincang dengan kami |
Akhirnya saya pun turun untuk berkenalan dalam bahasa Jawa. Namun di postingan ini saya akan menerjemahkan menggunakan bahasa Indonesia.
Nia: Mbah, sedang mengerjakan apa?
Mbah Dayadi: Ini nak, sedang membuat mushola.
Nia: Lho, sendirian mbah?
Mbah Dayadi: Iya, sendirian saja. Tidak ada yang membantu..
Well, to be truth di titik ini guatel banget rasanya pingin nanya lho anaknya kemana? menantu laki nya kemana? Kok sendirian? Cuman percakapan kita terlalu asik pada topik "Why do I love doing this" versi mbah Dayadi.
Pria berusia 88 tahun itu cerita, sebenarnya tidak ada hal apapun yang melandasi dia melalukan hal itu. Hanya saja, sebagai warga sekitar Coban Talun, mbah Dayadi merasa bertanggung-jawab membangun apa yang telah rusak di tempat wisata itu.
"Lagian apa yang dicari orang seusia saya, Saya cuman kepingin seneng saja, ya salah satunya ke sini sekalian bangun mushola yang roboh karena longsor, kalau di sini kan senang, melihat anak-anak muda yang datang ke sini cantik-cantik, energik, ganteng-ganteng, jadi ingat masa muda saya dulu." katanya melawak 😁
Singkat cerita, 15 hari lalu, tanah dekat air terjun Talun longsor. Padahal di tanah yang longsor itu dulu berdiri bangunan mushola kecil. Mbah Dayadi, berinisiatif membangun kembali mushola yang roboh di landasan tanah landai, terhitung semenjak Selasa, 14 Maret 2017. Sedangkan saya dan kawan-kawan bertemu beliau Rabu, 15 Maret 2017.
Mbah Dayadi sedang asik mengerjakan proyek amalnya |
Mbah Dayadi mengaku ikhlas melakukan hal tersebut, Meski tak ada partner yang membantunya mengangkat dan memindahkan batang pohon yang tumbang ke tempat baru berdirinya mushola. "Mumpung masih sehat nak, cuman ini yang bisa saya lakukan untuk amal, wong saya juga ndak punya apa-apa." katanya.
"Kalau haus dan lapar gimana mbah?" tanyaku iseng. Dengan legowo beliau menjawab, "Ya, minum itu!" sambil menunjuk ke arah air sungai. "Itu kan kalau haus mbah, kalau lapar? masak ngerjakan gini nggak lapar mbah?" Saya mencoba bertanya lebih detil. "Ya minum agak banyak.Biar kenyang." jawabnya.
Jawaban sederhana dan polos dari si mbah ini sontak melucuti jiwa saya. Seorang Nia, berumur 25 tahun masih sering menangis jika Tuhan memberi ujian. Masih sering sinis ke Tuhan apabila set goals yang sudah dirancang dan diperjuangkan tak sesuai kenyataan. Duh! 😓
Till this story is published, mbah Dayadi mungkin masih di sana, mengerjakan beberapa pondasi mushola yang belum selesai. Terakhir, sebelum kami pamitan dia bilang akan mencari seng untuk memperkuat bangunan.
Dari Surabaya saya berdoa, semoga si mbah diberi kekuatan untuk menyelesaikan amalannya. Karyanya akan dinikmati orang yang berkunjung ke sana. Mengumandangkan takbir untuk menyapa Tuhan, diiringi dengan orkestra alam berupa suara jangkrik dan deburan air dari Coban Talun.