Kata Nia

Jumat, 17 Maret 2017

Kakek Perkasa Mendirikan Mushola Seorang Diri

Mbah Dayadi, Pembuat Mushola di Coban Talun

Sebagai anak generasi 90 an yang sudah masuk seperempat abad. Sempat terbesit khayalan di masa tua, kira-kira bisa sekuat sekarang nggak ya? masih bisa was wus kesana kesini sendiri apa nggak? pertanyaan konyol itu akhirnya terjawab setelah saya ketemu mbah Dayadi, saat jalan-jalan ke Coban Talun, Malang, tiga hari lalu.

Jawabannya adalah; HARUS BISA! Karena nyatanya, pria kelahiran tahun 1929 itu pun bisa mendirikan mushola seorang diri, di tempat yang akses jalannya sulit.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pertemuan kami bermula atas ketidak-sengajaan dan keisengan salah satu sahabat saya, Arni, yang mencoba sok kenal dan sok dekat dengan beliau. Setelah asik foto-foto dengan berbagai macam angle dan gaya, di berbagai spot yang instagramable, kami pun istirahat sejenak. Si Arni, entah ada angin apa, tiba-tiba langsung menghampiri si mbah yang sedang asik bekerja.

Si mbah, tidak merasa terganggu dengan kedatagan Arni. Malahan, dia meletakkan golok yang digunakan untuk memotong batang pohon tumbang, duduk di atas batang pohon tersebut dan meladeni pertanyaan Arni. Dari kejauhan saya melihat mereka asik sekali, bahkan tak jarang si mbah tertawa.

"Mbah nya keren lho, bikin mushola di sini sendirian." kata Arni ketika kembali kepada kami. "Ha sumpah? sendirian?" tanyaku menggebu-gebu. 

"Iya, tapi aku nggak ngerti selanjutnya dia ngomong apa, soalnya campur bahasa Jawa aku iya-iya aja." ungkap anak Kalimantan ini dengan polos hahaha 😂

Mbah Dayadi, saat berbincang dengan kami

Akhirnya saya pun turun untuk berkenalan dalam bahasa Jawa. Namun di postingan ini saya akan menerjemahkan menggunakan bahasa Indonesia.

Nia: Mbah, sedang mengerjakan apa?
Mbah Dayadi: Ini nak, sedang membuat mushola. 
Nia: Lho, sendirian mbah?
Mbah Dayadi: Iya, sendirian saja. Tidak ada yang membantu..

Well, to be truth di titik ini guatel banget rasanya pingin nanya lho anaknya kemana? menantu laki nya kemana? Kok sendirian? Cuman percakapan kita terlalu asik pada topik "Why do I love doing this" versi mbah Dayadi.

Pria berusia 88 tahun itu cerita, sebenarnya tidak ada hal apapun yang melandasi dia melalukan hal itu. Hanya saja, sebagai warga sekitar Coban Talun, mbah Dayadi merasa bertanggung-jawab membangun apa yang telah rusak di tempat wisata itu. 

"Lagian apa yang dicari orang seusia saya, Saya cuman kepingin seneng saja, ya salah satunya ke sini sekalian bangun mushola yang roboh karena longsor, kalau di sini kan senang, melihat anak-anak muda yang datang ke sini cantik-cantik, energik, ganteng-ganteng, jadi ingat masa muda saya dulu." katanya melawak 😁

Singkat cerita, 15 hari lalu, tanah dekat air terjun Talun longsor. Padahal di tanah yang longsor itu dulu berdiri bangunan mushola kecil. Mbah Dayadi, berinisiatif membangun kembali mushola yang roboh di landasan tanah landai, terhitung semenjak Selasa, 14 Maret 2017. Sedangkan saya dan kawan-kawan bertemu beliau Rabu, 15 Maret 2017.
Mbah Dayadi sedang asik mengerjakan proyek amalnya


Mbah Dayadi mengaku ikhlas melakukan hal tersebut, Meski tak ada partner yang membantunya mengangkat dan memindahkan batang pohon yang tumbang ke tempat baru berdirinya mushola. "Mumpung masih sehat nak, cuman ini yang bisa saya lakukan untuk amal, wong saya juga ndak punya apa-apa." katanya.

"Kalau haus dan lapar gimana mbah?" tanyaku iseng. Dengan legowo beliau menjawab, "Ya, minum itu!" sambil menunjuk ke arah air sungai. "Itu kan kalau haus mbah, kalau lapar? masak ngerjakan gini nggak lapar mbah?" Saya mencoba bertanya lebih detil. "Ya minum agak banyak.Biar kenyang." jawabnya.

Jawaban sederhana dan polos dari si mbah ini sontak melucuti jiwa saya. Seorang Nia, berumur 25 tahun masih sering menangis jika Tuhan memberi ujian. Masih sering sinis ke Tuhan apabila set goals yang sudah dirancang dan diperjuangkan tak sesuai kenyataan. Duh! 😓

Till this story is published, mbah Dayadi mungkin masih di sana, mengerjakan beberapa pondasi mushola yang belum selesai. Terakhir, sebelum kami pamitan dia bilang akan mencari seng untuk memperkuat bangunan. 

Dari Surabaya saya berdoa, semoga si mbah diberi kekuatan untuk menyelesaikan amalannya. Karyanya akan dinikmati orang yang berkunjung ke sana. Mengumandangkan takbir untuk menyapa Tuhan, diiringi dengan orkestra alam berupa suara jangkrik dan deburan air dari Coban Talun. 

Rabu, 01 Maret 2017

Nenek 97 tahun Jualan Gudeg

"Sehat terus nggih mbah!" Ujar salah satu pembeli setelah membayar seluruh bungkusan nasi gudeg yang dia pesan. "Nggih nak, nggih, maturnuwun," Balas Mbah Lindu.

Sejujurnya, kuliner Jogja yang paling ngangenin versi saya adalah nasi kucing dan oseng-oseng mercon. Gudeg, yang konon katanya adalah kuliner asli Jogja justru saya hindari. Sebenarnya ini tergantung selera lidah masing-masing, hanya saja saya tidak terlalu suka makanan dengan citra rasa manis. Saya lebih suka makanan dengan citra rasa asin. That's way i am cheese lover.

Hari pertama berkunjung ke Jogja, sebelum ke Goa Pindul kami memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu. Tour Guide kami, Ony, menawarkan sarapan Gudeg di kawasan Malioboro.

"Nggak terlalu manis kok Nay, yang jual seniornya penjual Gudeg di Jogja," katanya.

Oke, berhubung Ony adalah seorang koki, jadi saya percaya dengan sepak terjang lidahnya di dunia kuliner Jogja, hehehe. Dari NDalem Ngadiwinatan, tempat kami menginap menuju lapak Mbah Lindu tidak terlalu jauh. Hanya memakan waktu 10 sampai 15 menit menggunakan mobil. 

Begitu tiba, yang saya kagumi bukan tatanan menunya, melainkan sosok Mbah Lindu. Beliau berpostur tubuh kecil, kulitnya keriput dan sedikit gelap. Soal kecepatan melayani penjual, dia tak kalah gesit dengan waitress restaurant.


Mbah Lindu saat berjualan didampingi cucunya

Mbah Lindu menjual gudeg pada umumnya. Bedanya, untuk menu nasi, di lapak Mbah Lindu ini bisa diganti dengan bubur. Kami membeli tiga porsi, plus aqua gelas 3 buah. Saat ditanya berapa jumlah yang kami makan, dengan tangkas si mbah langsung menjawab "63 ribu nak!" tanpa menanyakan terlebih dahulu apa saja lauk yang kami pilih dan tidak membutuhkan waktu lama untuk menghitung berapa nominal yang kita makan.

Beliau menghafalkan apa saja yang sudah dia letakkan di dalam bungkus saji, kemudian menghitung jumlah harganya, sebelum diserahkan kepada pembeli!

Ony sempat bertanya kepada beliau, semenjak kapan berjualan gudeg. Si mbah menjawab bahwa dia tidak ingat pasti tahun berapa, hanya saja beliau menaksir antara tahun 1950 an. Kemudian kami bergeser pada cucunya yang mendampingi beliau berjualan. Saya bertanya, si mbah usia berapa sekarang dan sang cucu menjawab 97 tahun. Artinya, 3 tahun lagi, Mbah Lindu akan berusia 100 tahun.

Di usia serenta itu, Mbah Lindu masih aktif menjual gudeg. Di usia setua itu, ingatan dan kemampuan hitung mbah Lindu masih tinggi. Semoga, jika kita dikaruniai Allah umur panjang, kita bisa seaktif, seenergik dan sekuat Mbah Lindu ya, aamiin.




Hemat Budget Travelling? Pangkas Biaya Sewa Hotel

Bagi kalian yang berduit, mungkin tips ini bisa jadi tidak berguna. Tapi bagi kalian mahasiswa atau anak SMA yang ingin liburan bareng teman-teman, yang masih mengandalkan dari uang tabungan setiap bulan, atau yang travelling dengan dana terbatas, alangkah baiknya jika kalian mempertimbangkan tips dari saya.

Sebelum bercerita lebih lanjut. Saya mau tanya dulu, konsep liburan kalian seperti apa? 
1. Apakah pergi keluar dan eksplorasi tempat wisata seharian? Atau, 

2. Berdiam diri dalam hotel setengah hari, lalu wisata kuliner dan kemudian sudah kembali ke hotel di sore hari.

Saya pernah mengalami keduanya. Berangkat dari Surabaya ke tempat wisata, hanya sekedar ingin liburan tanpa tahu destinasi wisata mana saja yang akan dituju. Akhirnya menyewa hotel dengan harga "lumayan" dengan fasilitas yang sepadan. Setengah hari saya habiskan di hotel untuk menentukan tujuan. Fasilitas hotel justru membuat saya mager dan tak ingin kemana-mana. Jatuhnya malah cuman numpang tidur doang bukan liburan.

Tanpa rencana yang jelas, tidak sedikit teman-teman yang berlibur ke tempat wisata baru, justru malah terjebak di hotel setengah hari hanya untuk merencanakan pergi kemana. Nah, jika tujuan dari awal sudah jelas mau eksplorasi mana saja, kalian akan tertantang untuk segera keluar dari tempat penginapan dan kembali saat semua destinasi sudah dikunjungi.

Saya pribadi, lebih suka jika penginapan hanya ditujukan sebagai tempat istirahat setelah seharian eksplore tempat wisata yang sudah ada dalam list. Oleh karena itu, pilihan penginapan yang saya tuju tidak lebih dari Rp 300 ribu. Karena, rasanya sayang kalau saya harus menyewa hotel bintang sekian padahal saya beraktivitas di luar seharian (emang dasarnya pelit dan ga punya duit aja sih 😛)

Akhir-akhir ini sudah banyak bermunculan aplikasi yang memperkenalkan kalian beberapa pilihan hotel atau penginapan seperti homestay dengan harga bersaing. Tapi, yang murah jangan asal murahan ya, kalian juga perlu mempertimbangkan faktor kenyamanan. Caranya, bisa dilihat dari kolom komentar orang-orang yang pernah menginap di penginapan tersebut.

Kalau saya, pilihan jatuh pada aplikasi baru yakni airy rooms. Ini bukan endorse, karena saya sendiri merasakan manfaat setelah instal app airy rooms di smartphone saya. Tawaran penginapan yang diberikan di airy rooms nggak cuman murah, tetapi juga nyaman dan aman. Hari pertama, saya menginap di Ndalem Ngadiwinatan. Jaraknya hanya 10 menit dari stasiun Tugu, Yogyakarta.

Saya datang pukul 22.34 WIB. Berhubung ini homestay, saya sudah berpikir wah bakal susah nih bangunin pemilik rumahnya. Ternyata tidak! Bahkan sang pemilik rumah dengan ramah membukakan pintu dan memberi kunci kepada kami.

Dari pengalaman saya, penginapan murah pasti fasilitas seadanya. Ternyata, lagi-lagi tidak! Hal pertama yang diberitahukan sang pemilik rumah adalah wifi dan password. Kecepatannya pun bisa diadu. Kemudian, ada beberapa snack dan minuman untuk dua orang yang bisa dinikmati secara GRATIS! 

Snack dan minuman diberikan secara gratis
Saya dan rekan bolang saya, Nunu, sampai memastikan kalau ini gratis berulang kali. "Ini gratis kan pak?" tanya Nunu, ngotot. "Iya mbak," ujar si bapak dengan sabar. 

Kami masih terpukau aja (norak ya, hehehe) karena biasanya di hotel-hotel, jika disediakan snack semacam ini harus bayar. Meskipun nggak di semua hotel sih.

Lanjut ke fasilitas lain. Di nDalem Ngadiwinatan, kamarnya sudah dilengkapi AC dan TV. Belum lagi kasur yang lumayan empuk dan bersih. Kamarnya tergolong luas, jika ditempati untuk berdua saja.

Kamar di Ndalem Ngadiwinatan
Lanjut ke kamar mandi. Saya dan Nunu tipikal traveller teledor dan ceroboh. Bagaimana tidak, kita berdua selalu melewatkan benda-benda krusial seperti handuk, sabun dan sampo. Di dalam otak kami sudah terbesit. "Ah paling nanti Nunu bawa sabun dan sampo," pikirku. "Ah, paling nanti Nay juga bawa sabun, anduk sama sampo," pikir Nunu. Alhasil setelah ketemu.

Nunu: Nay, aku lho nggak bawa sampo sama sabun, cuman bawa anduk sama sikat gigi.
Nay: Lah, sama aku juga
Nunu: Pikirku alah paling ntar kamu juga bawa
Nay: Yasalam Nunu, sama aku juga mikirnya kayak gitu. Tapi lho Nu, ntar kita nginepnya di homestay bukan hotel, kayaknya nggak ada deh fasilitas handuk, sabun, shampoo gitu.
Nunu: Yaudah nanti beli sachetan sama sabun batang aja di sana.

(Ujung-ujungnya selalu begitu 😂)

Kekhawatiran kita tidak terjadi. Begitu masuk kamar mandi, sudah tersedia DUA HANDUK! Belum lagi, ada 2 sikat dan pasta gigi yang sudah nangkring di wastafel. Kita langsung melongo, takjub dengan layanan homestay yang kerjasama dengan airy rooms. Kita bagaikan menginap di hotel dengan layanan bintang lima.

Meskipun tidak dapat sarapan, tetapi pihak homestay memberikan kopi dan teh secara gratis setiap pagi. 

Bagian terpenting dari cerita ini adalah, biaya menyewa homestay nDalem Ngadiwinatan lewat aplikasi airy rooms adalah sebesar Rp 160 ribu saja teman-teman. Jika dibagi dua, otomatis saya dan Nunu hanya menghabiskan dana Rp 80 ribu per malam, dengan fasilitas yang membuat kita merasa nyaman.

Kalian ada pengalaman sewa penginapan murah, aman dan nyaman? Bagi ceritanya dong 😊

Selasa, 28 Februari 2017

Surga Di Balik Keanggunan Jogja

Pernah nggak kamu ngerasa, Jogja seperti rumah. Pusat dari segala energi pelepas penat di tanah Jawa. Kalau iya, kamu sama seperti saya. Jogja dan segala isinya, sudah seperti candu buat saya. Seperti tempat saya pulang padahal tak punya rumah di sana. Tempat bersandar, padahal tak punya kekasih disana.

Kalau sedang penat dan suntuk, jawaban pertama yang muncul kalau ditanya "Nia mau kemana?" mulut dan otak kompak menjawab JOGJA. Dalam postingan kali ini, saya mau sharing tempat yang menurut saya baru dan must be visited kalau kamu ke daerah Gunung Kidul. Sekaligus ini pengalaman unik saya bersama teman-teman.

Capt by alfiniaps
Embung Batara Sriten
For the first sight, siapa yang mengira ini kolam renang? Kalau kamu ngira ini kolam renang dan bisa dibuat berendam sambil melihat pemandangan sekitar DIY, lagi-lagi kamu sama kayak saya hehehe. Awal sampai di Embung Sriten saya ngira ini kolam renang dan akan dibuka umum untuk wisatawan. Ternyata, ini waduk lho teman-teman. Sayangnya, saya kurang bisa mendapat info apa fungsi waduk ini (ngeles sih, padahal aslinya keasikan foto-foto untuk mempercantik feed instagram).

Setiba di Surabaya, saya langsung googling tentang Embung Batara Sriten ini. Ternyata, waduk buatan ini merupakan pengairan untuk wilayah Gunung Kidul. Letaknya di perbukitan Batur Agung. Kalau kalian mentas dari main-main air di Goa Pindul, nah lokasinya nggak jauh dari situ. 

Embung Sriten ini digadang-gadang akan menjadi telaga buatan tertinggi di Jogjakarta, sekaligus menjadi sumber pengairan kebun buah Embung Sriten, yang bakal menjadi tempat wisata baru di Jogja. Gila ya, tambah banyak aja list must be visited place in Jogja, hihihi.

Mengutip dari www.njogja.co.id Kabupaten Gunung Kidul mempunyai kontur wilayah yang tersusun dari batuan karst atau batuan kapur. Nah, waktu saya kesana memang betul jalanan menuju Embung Sriten adalah batu kapur berwarna putih, besar dan terjal-terjal. 

Jalanan menuju Embung Batara Sriten
Kelihatan nggak? Kurang lebih begitu jalanan menuju kesana. Gambar ini diambil dari hasil screen capture dari instagram saya www.instagram.com/alfiniaps

Awalnya saya dan sahabat saya, Nunu, tidak terpikirkan untuk pergi ke tempat ini. Jangankan terpikirkan, mendengar Embung Sriten saja tidak pernah. Awal cerita saat kami bertiga, Saya, Nunu dan teman baru saya yang kebetulan kuliah di Jogja, Ony, istirahat setelah bermain air di Goa Pindul. Biasalah, sesama wisatawan kami saling tegur sapa dengan wisatawan lain, saling menanyakan dari mana dan setelah ini destinasi wisata akan kemana.

Lalu teman wisatawan kami memberitahukan ada waduk di atas bukit, namanya Embung Sriten. "Deket dari sini kok!" tegasnya saat itu. Dengan sigap, Ony langsung membuka instagram dan menemukan keajaiban semesta melalui hastag #embungsriten. Berangkatlah kami kesana, padahal rencananya setelah dari Goa Pindul kami akan ke Hutan Pinus Imogiri.

Yap, memang benar dekat dari Goa Pindul. Hanya butuh waktu kurang lebih 30 menit. Selama perjalanan kami bergantung pada kekuatan mbak Waze dan Google Maps. Bagi yang menggunakan Simpati, jaringan masih terkoneksi sampai atas kok tenang saja. 

Bagian terdrama dalam perjalanan ini adalah ketika mobil yang kami tumpangi bolak-balik mati. Kami menyewa sejenis mobil sedan, ukuran mini untuk mencapai jalanan terjal dan menanjak. Sang driver, Ony, berulang kali mengangkat handrem, memundurkan mobil beberapa meter untuk mengambil ancang-ancang dengan menekan gas lebih dalam.

Terhitung, delapan kali sudah mobil kami mati di tengah jalan karena nggak kuat nanjak :'( si kecil berulang kali disugesti. "Ayo, kamu bisa, jangan mau kalah sama inn*va yang badannya gede," dan akhirnya kuatjuga si imut bawa kita keatas dengan matikan AC. Si Nunu sudah hopeless di tengah jalan dan minta putar balik saja. Sayang, jalanan tidak memungkinkan untuk putar balik karena hanya muat untuk satu mobil dan sisi jalan adalah JURANG!

Harapan kami hanya satu saat itu, jangan sampai ada mobil turun dari atas 😬😆

Lalu. Apa kabar jantung? Huwaduh sudah merosot kali tuh. Saya cuman bisa diam, sementara Nunu sudah komat-kamit di depan. Ony? Masih dengan konsentrasi dan niat penuh membawa kita menemukan Surga di Balik Keanggunan Jogja.

Well, perasaan kami sedikit plong begitu mbak google maps dan waze kompak bilang "you'll be arrived in 2 minutes," 

Beneran sudah sampai? Iya sudah sampai, di gerbang pintu karcis maksudnya 😅 Embung Sritennya masih jauh, masih kurang lebih 3 kilometer dengan jalan dari bebatuan kapur, yang tajam dan besar. Begitu melihat jalan masuk ke Embung, kami sadar diri dan tahu diri, si imut nggak bakalan bisa naik sampai atas. Cukuplah kita berbangga pada dia sudah mengantarkan kita hingga pintu karcis, selanjutnya biarlah kami dan kaki kami yang melanjutkan misi ini.

"Jalan aja yuk, kayaknya nggak kuat deh mobilnya," kata Nunu.

Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan kaki. Si bapak penjaga pintu karcis menegur kami. "Dibawa aja mbak mobilnya, jauh lho, masih 3 kiloan lagi," katanya. Yah, daripada terjadi apa-apa pada si kecil dan tidak bisa membawa kami keliling Jogja keesokan hari, kami tetap melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.

Saat itu ada (dugaan kami) pegawai Pemkab Gunung Kidul yang (sepertinya) bekerja memantau Embung Sriten. Darimana kami tahu beliau pegawai Pemkab? Pertama, beliau berseragam dan kedua beliau membawa peralatan yang sekiranya berkaitan dengan pengairan.

"Jenengan saking pundi pak?" Tanyaku mencoba sok asik, hehehe. "Kulo saking mriki mawon kok mbak, bade ngurusi waduk," jawabnya (sok) misterius. 

Beliau pula yang menegaskan sekali lagi pada kami; "YAKIN MAU JALAN KAKI? JAUH LHO!" tetapi memang tekad kami sudah bulat. Jalan kaki is the best solution. 

Karena si bapak nggak tega, setelah beberapa meter kami melangkah beliau menyusul kami menggunakan motor. "Hey rek-rek, kayaknya kita mau di drop satu-satu deh sama bapaknya, naik motor," tukas Nunu penuh percaya diri dan rasa Ge-eR tinggi. 

Dugaan Nunu benar! Si bapak mau kasih tumpangan ke kami, taaapiiiii bukan naik motor dan diantar satu-satu. Melainkan diantar sekaligus! Naik pick up! Ah, senengnya bukan main kita.

"Kalau jalan jauh mbak, beneran. Tunggu sini sebentar, saya nunutkan pick up teman saya," kata si bapak. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan naik pick up. Itulah sebabnya, saya ambil hape untuk mengabadikan moment lewat instagram stories hehehe.

Setelah "menikmati" perjalanan yang maha dahsyat. Akhirnya, sampai lah kami di Embung Sriten..

Foto ini diambil begitu turun dari pick up


Dancing in the air


Pemandangan dari Embung Sriten


Si Ony lagi Semedi Ala-Ala 😜


Fake banget sih, elah 😝😝


Embung Sriten 

Begitu kami sampai, bapak Pemkab Gunung Kidul (sebut saja begitu), langsung memberi tahu ke kami bahwa dari ketinggian ini, kami bisa melihat Waduk Gajah Mungkur (meskipun ga kelihatan juga karena ketutup pohon-pohon). Di sisi lain, kami dapat melihat gemerlap lampu Kota Klaten kalau malam (sayang kami datang pas sore hari). 

"Kalau mau sampai sore di sini bagus, bisa lihat sunset. Terus kalau ke sini pagi, bisa lihat awan kayak kapas," terangnya kepada kami. 

Perjalanan kami yang menegangkan terbayar dengan pemandangan alam dari sini. Seolah kami masih berada di bumi, namun dapat menyentuh langit. Perpaduan warna yang pas, dari hijau nya pohon, putihnya awan dan birunya langit. Tak hanya itu, di sini kalian bisa stock udara bersih sebanyak mungkin untuk paru-paru kalian. 

Kalian yang ingin berkunjung ke sini, kami sarankan menggunakan sepeda motor saja. Atau yang bawa mobil, parkir saja mobilnya di bawah. Lalu ke atas naik ojek. 

Inilah cerita #nekadtraveller kami.